Lucezn/Getty Images/iStockphoto Penjabaran tentang bahaya salinitas air laut yang bisa menyebabkan matinya beberapa arus laut utama. satu ancaman terbesar dalam perubahan iklim dan peningkatan suhu rata-rata dunia adalah mencairnya es di kutub. Saat suhu rata-rata meningkat di seluruh dunia dan Bumi menjadi semakin panas, jelas bahwa lapisan es raksasa akan mulai mencair seperti yang sudah terjadi. Lalu, air dari semua pencairan itu akan bergabung dengan perairan lautan dunia. Apa yang terjadi ketika kita menambahkan air ke larutan air garam? Air tersebut menjadi kurang asin, kan? Air laut itu asin, jadi apa yang akan terjadi jika tiba-tiba mendapat pasokan air tawar yang sangat besar yaitu, air yang tidak asin? Apakah akan menjadi kurang asin? Ternyata, jawaban dan konsekuensinya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mari, mari kita bahas beberapa perkara mendasar. Baca Juga Virus Kuno Tahun Diidentifikasi di Gletser Tibet yang Mencair Salinitas Air Salinitas, secara sederhana, mengacu pada kandungan garam terlarut dari dalam air. Seperti yang dapat kita bayangkan, salinitas air laut memainkan peran penting dalam menentukan jenis organisme yang dapat berkembang di dalamnya. Salinitas air laut juga memainkan peran penting dalam sirkulasi laut dan siklus air. Salinitas air laut tergantung pada beberapa faktor, termasuk penguapan, curah hujan, angin, aliran air sungai dan pencairan gletser. Untuk ruang lingkup artikel ini, kita hanya akan membahas faktor terakhir. Baca Juga Gletser yang Mencair Ternyata Berisi Kotak Kayu Berusia Berabad-abad Dampak Pemanasan Global Bisa ditebak, pemanasan permukaan bumi mengakibatkan mencairnya lapisan es kutub di Antarktika dan wilayah kutub lainnya. Penelitian juga menunjukkan bahwa es Laut Arktik mencair lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini karena Bumi terus memanas akibat pemanasan global dan es Kutub Utara mencair, masuknya air tawar dari es yang mencair mengubah salinitas air laut, terutama di dataran tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika salinitas semua lautan di dunia menurun akibat mencairnya es di kutub. Samudra Atlantik, khususnya, telah mengalami perubahan salinitas air yang cukup signifikan selama empat dekade terakhir. Jadi, untuk menjawab pertanyaan kita, ya, mencairnya es di kutub membuat air kurang asin, tapi itu bukan jawaban lengkapnya. Anda tahu, masuknya air tawar yang meningkat ke air laut memang membuat air laut kurang asin, tetapi tidak seperti yang Anda kira. Baca Juga Gletser yang Mencair Ternyata Berisi Kotak Kayu Berusia Berabad-abad Florian Ledoux Seekor beruang kutub menyeberangi lapisan es di Arctic Bay, Nunavut, Kanada. Ketika es mencair, keseimbangan ekosistem di kutub-kutub Bumi pun bergejolak. Apa glasiasi berdampak pada salinitas lautan dunia ? Lautan adalah perairan yang sangat luas. Air yang dikandung badan air ini memiliki 'jenis' yang berbeda. Dengan kata lain, dibutuhkan sejumlah besar energi untuk mencampur massa air dengan sifat yang berbeda. Hasil langsung dari ini adalah, alih-alih seluruh lautan mengurangi rasa asinnya, arus laut tertentu mengambil pukulan terbesar yaitu, salinitasnya yang paling terpengaruh. Arus Laut Arus laut adalah gerakan air laut yang terarah dan terus-menerus yang disebabkan oleh gaya-gaya tertentu. Air laut selalu bergerak, dan arus laut adalah pergerakan air yang terjadi baik di permukaan laut maupun di kedalamannya, baik secara lokal maupun global. Arus laut digerakan oleh faktor-faktor seperti kepadatan air, angin, pasang surut, dan lain lain. Arus laut sangat penting, terutama bagi kehidupan laut, karena banyak organisme air dengan mobilitas terbatas mengandalkan arus laut ini untuk membawa makanan dan nutrisi penting ke mereka. Tidak hanya itu, arus laut juga mendistribusikan larva dan sel reproduksi di antara makhluk laut. Dengan demikian, glasiasi pencairan lapisan es, sebagian menghentikan pertukaran garam, energi, dan panas antara laut dalam dan permukaan laut, yang hanya menyisakan sumber turbulensi yang didorong oleh pasang surut dan topografi, akan membantu kedua lapisan ini 'berkomunikasi'. Baca Juga Es Antarktika Mencair, Kuburan Mumi Penguin Terungkap Dampak Buruk Salinitas Air Bagi Air Laut Masuknya air tawar dalam jumlah besar sebagai akibat dari pencairan lapisan es dapat mengubah atau bahkan berpotensi mematikan beberapa arus laut utama. Seperti dibahas sebelumnya, arus laut ini benar-benar sangat penting. Arus tidak hanya mendistribusikan makanan dan sel reproduksi ke ikan yang jauh, tetapi juga menjaga lautan tetap teroksigenasi sehingga hewan laut dapat bertahan hidup di dalamnya. Setiap dampak negatif pada arus laut ini dapat secara serius mengganggu rantai makanan di lautan. Tentu memiliki konsekuensi pada rantai makanan, termasuk manusia. Jadi, ya, mencairnya es pasti mengurangi salinitas lautan walaupun tidak merata, dan pencairan ini jauh lebih berbahaya bagi manusia daripada yang diperkirakan banyak orang. Baca Juga Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Mencairnyaes di kutub disinyalir hasil dari global warming disebabkan gas buang/emisi industri.Hubungan sebab akibat diatas adalah keterkaitan aspek? Tinggalkan komentar Batalkan balasan. Komentar. Nama Surel Situs web. Simpan nama, email, dan situs web saya pada peramban ini untuk komentar saya berikutnya. Sejak beberapa dekade terakhir, para pakar iklim terus mencemaskan dampak pemanasan global, khususnya yang menimpa kedua kutub bumi. Yang terutama diamati dan diteliti adalah kawasan Kutub Utara. Pasalnya, lapisan es di Kutub Utara terus menyusut drastis dalam 30 tahun terakhir ini. Lapisan Es Terus Menipis Pengukuran yang dilakukan 300 pakar iklim dari delapan negara yang lokasinya berbatasan dengan Kutub Utara menunjukan, dalam tiga dekade terakhir, lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut sekitar 990 ribu kilometer persegi. Disebutkan, kawasan kutub kini mengalami pemanasan global lebih cepat dari kawasan lain di dunia. Para pakar iklim juga yakin, pemicu pemanasan drastis di kawasan kutub, adalah aktivitas manusia. Dalam beberapa dekade terakhir, emisi gas rumah kaca ke atmosfir terus meningkat drastis. Tidak Ada Lagi Es Pada Musim Panas di Kutub Utara Sinyal apa yang dilontarkan dari penyusutan drastis lapisan es di lautan Kutub Utara itu? Tentunya bukan pertanda yang baik bagi ekosistem. Karena itulah, dalam sebuah konferensi ilmiah di Hamburg, sekitar 500 pakar iklim mendiskusikan kemungkinan dampak yang bakal muncul dari penyusutan lapisan es di Kutub Utara tersebut. Peneliti iklim dari Institut Max-Planck untuk meteorologi di Hamburg, Jochem Marotzke mengatakan, menurut perhitungan, sekitar akhir abad ini, lapisan es itu pada setiap musim panas akan mencair seluruhnya. Memang di musim dingin lapisan es kembali terbentuk. Akan tetapi, di musim panas berikutnya seluruhnya kembali mencair. Apa yang diungkapkan Marotzke, tentu saja bukan berita bagus. Jika ramalannya tepat, artinya sekitar tahun 2080 mendatang, setiap musim panas di Kutub Utara tidak akan ditemukan lagi hamparan padang es. Sekarang saja, para peneliti dari institut penelitian kutub Alfred-Wegener di Bremerhaven, mencatat bahwa lapisan es di lautan sekitar kutub juga semakin tipis, setiap musim panas, menyusut sekitar 20 persen dalam 30 tahun terakhir. Demikian dikatakanChristian Haas, peneliti dari Bremerhaven. Permukaan Laut Akan Meningkat Laju penyusutan lapisan es di lautan sekitar kutub, diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2080 mendatang, sampai semuanya mencair. Dampaknya adalah meningkatnya permukaan air laut global. Dalam 20 tahun terakhir ini, permukaan air laut sudah naik rata-rata delapan centimeter. Jika semua lapisan es mencair, diperkirakan permukaan air laut akan naik rata-rata 90 centimeter. Pemicu drastisnya penyusutan lapisan es adalah pemanasan global yang dipicu aktivitas manusia. Pemanasan Global Terus Berlanjut Lebih lanjut peneliti iklim Jochem Marotzke meramalkan terus berlanjutnya pemanasan global. Perhitungan menunjukan, Kutub Utara memanas dua kali lebih cepat, ketimbang kawasan lainnya di dunia. Diperhitungkan adanya pemanasan antara 8 sampai 10 derajat Celsius, di kawasan lintang Kutub Utara. Dampaknya bagi manusia akan sangat besar. Dalam jangka panjang, artinya sampai abad mendatang, jika suhu rata-rata global naik antara tiga sampai empat derajat Celsius, lapisan es abadi di Greenland akan mencair seluruhnya. Sebagai akibatnya, permukaan air laut global akan naik rata-rata tujuh meter. Semua negara kepulauan kecil akan tenggelam. Kota-kota besar di kawasan pantai, sebagian juga akan lenyap. Para peneliti iklim memperkirakan, akibat perubahan drastis selama beberapa dekade, kerusakan yang terjadi pada sebagian ekosistem akan menetap. Sebagian lagi dapat dipulihkan atau paling tidak efeknya diminimalkan secara siginifikan. Tapi syaratnya, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca juga dilaksanakan lebih efektiv lagi. Kutub Selatan Berbeda Jika di Kutub Utara diamati penyusutan drastis lapisan es, bagaimana kondisi di Kutub Selatan? Diketahui di kawasan Antartika terdapat iklim serta arus laut yang berbeda dari sistem yang mempengaruhi Kutub Utara. Karena itulah dampak pemanasan global di Kutub Selatan tidak sekuat seperti yang melanda Kutub Utara. Sejauh ini dapat diamati, di Kutub Selatan relatif tidak terjadi pencairan laisan es. Peneliti dari Institut Alfred Wegener di Bremerhaven, Christian Haas bahkan mengamati dampak sebaliknya. Menurut data, dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi peningkatan lapisan es di lautan sekitar Antartika. Suhu Juga Akan Naik di Kutub Selatan Akan tetapi dalam dekade mendatang, suhu di kawasan Kutub Selatan juga akan meningkat. Apakah fenomena ini juga akan mencairkan lapisan es di Antartika? Menanggapi pertanyaan ini, para pakar iklim melontarkan pendapat yang berbeda-beda. Penyebabnya, kawasan antartika amat besar, dengan persyaratan iklim yang berbeda-beda untuk setiap bagian kawasannya. “Kawasan timur antartika lebih tebal dan tinggi. Karena itu, salju di kawasan tersebut dapat terakumulasi lebih banyak, dan menyebabkan peningkatan volume lapisan es. Sementara kawasan barat Antartika, sangat terpengaruh oleh arus Circum-Antartika, yang mengangkut air dengan suhu lebih hangat. Jadi di sana, terdapat kaitan lebih erat, antara pemanasan samudra dengan mencairnya lapisan es.“ Demikian dijelaskan Christian Haas. Lapisan Es di Kutub Selatan Stabil Juga Jochem Marotzke, pakar iklim dari Institut Max Planc untuk Meteorologi di Hamburg, mengatakan sulit untuk memperkirakan secara akurat, bagaimana dampak dari pemanasan global di Kutub Selatan. Hal ini dikarenakan terdapatnya proses yang saling bertolak belakang. Jika suhu lebih hangat, diperhitungkan volume hujan salju akan meningkat. Akan tetapi, diperkirakan juga, lapisan es di kaki gletsyer akan mencair. Proses mana yang akan menang belum diketahui. Tapi menurut model perhitungan, tidak diharapkan adanya perubahan drastis pada lapisan es di Kutub Selatan. Akan tetapi di sana, masih terjadi situasi yang sulit diramalkan. Hancurnya Ekosistem Tapi juga diingatkan, pemanasan global dan efek rumah kaca tetap akan berdampak besar, juga pada ketinggian muka air laut global. Jika ramalan pakar iklim terbukti, dalam 80 tahun mendatang di setiap musim panas, lapisan es Kutub Utara akan mencair seluruhnya, pastilah terdapat konsekuensi drastis bagi flora dan fauna di kawasan Kutub Utara. Akan terjadi kerusakan drastis pula bagi ekosistem yang khas untuk banyak organisme. Misalnya habitat kehidupan plankton, ikan, anjing laut atau beruang es. Demikian diungkapkan Iris Werner, biolog dari Universitas Kiel. Sebab organisme itu amat tergantung dari habitat lautan es di sekitar kutub. Jika setiap musim panas lapisan es mencair seluruhnya, artinya binatang-binatang ini kehilangan ruang hidupnya dan juga makanannya. Pada akhirnya banyak binatang khas kutub akan musnah. Apa dampak dari musnahnya sejumlah organisme kutub ini bagi kehidupan manusia, masih terus diteliti oleh para pakar. Tapi yang jelas, simulasi iklim yang dibuat para pakar menunjukan, jika lapisan es di kawasan kutub terus menipis, kawasan Eropa akan mengalami dampak yang tidak menyenangkan. Musim panas nantinya akan lebih kering, sementara musim dingin lebih hangat. Bahkan dalam cuaca yang tidak terlalu fluktuativ sekalipun, tetap saja kehidupan manusia di Eropa akan berubah drastis. Selain Pemanasan GLOBAL, mencairnya es di kutub utara juga di sebabkan Pemanasan INDOSIAR, RCTI, TVRI dan pemanasan SCTV #FaktaNgawurrr" - Ilmuwan, negarawan dan masyarakat Islandia baru-baru ini memasang plakat peringatan di gletser Okjökull yang kehilangan lapisan es dan statusnya sebagai gletser akibat pemanasan global oleh aktivitas manusia. Dalam monumen tersebut tertulis peringatan bahwa dalam 200 tahun mendatang, umat manusia akan menyaksikan gletser-gletser lainnya mengikuti jejak Okjökull. NASA Mencairnya es di gletser Thwaites bertanggung jawab atas kenaikan permukaan laut dunia. Sebuah plakat diletakkan sebagai peringatan atas hilangnya gletser Okjökull glacier karena perubahan iklim. Rice University, CC BY-SA Indonesia juga memiliki gletser seperti Islandia, yaitu di Pegunungan Jayawijaya. Tidak kurang dari 84,9% dari massa es di Pegunungan Jayawijaya telah mencair sejak tahun 1988, sehingga warisan alam ini pun diprediksi akan hilang dalam dekade mendatang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dampak perubahan iklim oleh emisi gas rumah kaca tidak hanya menyentuh gletser yang hanya ada satu-satunya di Indonesia ini, tetapi juga laut yang luasnya meliputi 70% dari wilayah Indonesia dan kedalamannya melebihi ketinggian Puncak Jaya. Baru-baru ini panel ilmuwan PBB untuk isu perubahan iklim atau IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate SROCC, kajian terkait dengan kondisi laut dan kriosfer gletser, lapisan es, dsb di dunia. Saat ini saya terlibat dalam penulisan laporan iklim PBB mendatang atau Sixth Asessment Report untuk aspek kelautan, kriosfer dan kenaikan permukaan laut. Berikut penjelasan saya terkait hasil-hasil kajian SROCC yang perlu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Laut semakin panas, semakin asam, dan semakin berkurang kadar oksigennya Sejumlah 104 pakar iklim dari 36 negara mengkaji status dan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap laut dan kriosfer serta implikasinya bagi ekosistem dan manusia berdasarkan publikasi ilmiah. Hasil penelitian para ahli iklim mengungkap bahwa mencairnya lapisan es yang bermuara pada naiknya permukaan laut secara global merupakan satu dari beberapa efek domino dari perubahan iklim. Laporan IPCC menunjukkan, secara persisten, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam dan kekurangan kadar oksigen. Kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil tidak hanya terus terjadi, namun lajunya juga semakin cepat. Fenomena iklim esktrem seperti gelombang panas laut marine heatwave akan semakin sering terjadi dengan intensitas dan durasi yang meningkat terutama di daerah tropis. Begitu pula dengan fenomena ekstrem El Niño-Osilasi Selatan yang membawa bencana kekeringan dan banjir di Indonesia. Dampak bagi Indonesia Sumber daya laut yang tergeser, tertekan dan berkurang Laporan SROCC mengisyaratkan beberapa catatan penting terkait dampak perubahan iklim bagi Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis. Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi taruhan. Perubahan iklim turut mengubah ritme musiman dan distribusi spesies laut. Sejak tahun 1950an, secara global, spesies laut yang biasa hidup di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sejauh kurang lebih 52 kilometer per dekade. Hal serupa juga terjadi pada spesies-spesies laut dalam. Mengingat beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi tersebut. Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove. Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon. Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster. Tidak semua salah perubahan pada iklim Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah. Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut ocean acidification dan pengasaman pesisir coastal acidification. Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global. Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar. SROCC dan negosiasi iklim SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference COP25 di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau Blue COP’. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim. Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim. Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals. Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science 2021-2030 adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang. Penulis Intan Suci Nurhati, Peneliti Iklim & Laut, Indonesian Institute of Sciences LIPI Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. PROMOTED CONTENT Video Pilihan Mencairnya es di kutub menyebabkan kenaikan muka air laut dan mengakibatkan banyak pesisir terancam tenggelam. Gelombang panas mengakibatkan kebakaran lahan, kekeringan dan krisis pangan di banyak tempat. #Connect2Earth #NatureMatters #TogetherPossible"